Lihat, hujan turun. Aku memilih duduk sendirian di balkon rumah ketika untuk pertama kalinya hujan turun, setelah kemarau berkepanjangan. Berawal dari rintik-rintik yang terdengar merdu dan dingin itu, pikiranku mulai melayang-layang entah kemana. Ini bukan dengan kesengajaan, hanya saja pikiranku ini kreatif dengan sendirinya. Kreatif? Ya, ia berusaha mencari hiburan sendiri, meninggalkan aku untuk tetap diam di balkon rumah.
Aku teringat. Untuk pertama kalinya aku berangkat ke kampus hijau sendirian. Banyak yang aku lihat dan aku dengar dari perjalanan singkat itu. Ya, aku didewasakan oleh jalanan. Aku menjadi sering membiarkan mata ini melihat segalanya, dan membebaskan telinga ini mendengar apapun tanpa batas. Kemudian aku mempelajarinya. Mengambil makna luas dari apa yang kudapat di jalanan.
Hidup di dunia baru bukanlah perkara mudah. Perlu adaptasi yang bertahap, yang kadang membuat jenuh pikiran dan perasaan. Yah, inilah proses. Aku mulai menenggelamkan diri di antara berjuta nafas baru, di dunia baru itu. Berusaha menyesuaikan diri dengan dinginnya dunia baru itu. Berusaha terlibat di dalamnya, dan tidak ingin menjadi manusia naif yang berdiri sendirian di antara kerumunan mata tajam itu. Dan, lihat! Aku hampir berhasil.
Tapi, kurasa aku harus menginjak pedal rem dengan dalam, sekuat tenaga. Aku terlalu cepat mengambil langkah. Aku harus membangun portal di jalan ini, karena sepertinya aku tak bisa menyelinap dengan mudah ke dalamnya. Aku masih harus melewati proses yang membosankan itu. Aku sadar perlahan. Bagian ini tidak menghendaki kehadiranku.
"Aku dan bagian itu bagaikan air dan minyak. Walau sama-sama berbentuk cairan, kami tetap tak akan bisa menyatu. Karena kami berbeda aliran..."
Aku menengadahkan kepala menatap langit yang kini menangis. Tak rintik lagi, telah berubah menjadi hujan yang deras. Air itu perlahan membasahiku, mengguyur sebagian wajahku, mengalir bersamaan dengan tangisku.