Senja ini, ketika matahari turun
Ke dalam jurang-jurangmu

Aku datang kembali
Ke dalam ribaanmu, dalam sepimu
dan dalam dinginmu

Walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
Aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan

dan aku terima kau dalam keberadaanmu
Seperti kau terima daku

Aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
Hutanmu adalah misteri segala
Cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta

Malam itu ketika dingin dan kebisuan
Menyelimuti Mandalawangi
Kau datang kembali
dan berbicara padaku tentang kehampaan semua

“Hidup adalah soal keberanian,
Menghadapi yang tanda tanya
Tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar
Terimalah, dan hadapilah”

dan antara ransel-ransel kosong
dan api unggun yang membara
Aku terima itu semua
Melampaui batas-batas hutanmu

Aku cinta padamu Pangrango
Karena aku cinta pada keberanian hidup

Djakarta, 19-7-1966
Soe Hok Gie

Aku meniti jejak-jejak yang pernah kau tinggalkan. Melesat dengan jemari-jemari, menghempas setiap huruf yang berceceran. Kulihat makna, kulihat kata, kulihat cerita. Tak ada sumbang yang kutemukan di sana, namun kudapati rasa yang takbisa kuceritakan padamu. Masih butuh waktu untuk bisa menggali kepastian yang takkunjung tiba.

Masih perlu sabar takberujung.

Hai, apa kabar kawan lama? Lama tak jumpa. Sekian lama kita taksaling bertatap muka. Kau yang sibuk, kau yang aktif, kau yang takbisa diam.

Hai, partner terbaikku. Bagaimana hidupmu kini? Sepengelihatanku via social media, kini kau begitu tangguh. Entah terbuat dari apakah tubuhmu, pikiranmu, dan hatimu. Sungguh, kini kau layaknya wonderwoman yang bisa muncul di mana saja dengan label apa saja. Kau hebat.

Dulu aku juga sepertimu, tapi kini aku redup.

Kukirimkan doa dari tempatku kini, untukmu yang di sana agar semangatmu takpernah pudar dan semakim cemerlang. Aamiin.